POJOK LITERASI - Bertarung dengan waktu, memikul beban yang begitu berat, ditengah kepongahan negeri, begitulah hari-hari yang harus dilalui oleh wanita-wanita kekar di Bringharjo tanpa mengenal beban berat di tubuh renta mereka, bahkan sudah terbiasa mengangkat beban sebesar 50kg dari lantai satu pasar Bringharjo ke lantai tiga, semua demi sesuap nasi dan demi kehidupan anak-anak yang lebih baik
Mata selalu tertuju pada mobil-mobil pengangkut sayuran, dan barang-barang. Berharap ada rizki yang datang, meski tubuh mereka rata-rata telah renta mereka tidak peduli, ditengah dingin udara pagi dengan semangat untuk bertahan hidup, dengan bermodal kain selendang yang selalu tergantung di leher, tubuh renta itu berlomba untuk dapat memikul barang dagangan yang pagi itu tiba, meski beban yang di pikul kadang tidak sesuai dengan kondisi tubuh renta mereka, tumpukan sayuran yang rata-rata beratnya 50 kg dengan enteng digendongnya, lalu dengan penuh semangat mereka mengantarkan barang-barang itu kepada para pedagang dengan sebelumnya di timbang diantar menuju timbangan terlebih dahulu.
Begitulah kehidupan setiap hari para buruh gendong di pasar bring harjo, yogyakarta, tubuh-tubuh kekar wanita-wanita paruh baya itu menggantungkan nasibnya pada barang-barang yang datang, dengan perasaan bahagia para wanita paruh baya itu berlarian menuju mobil sayur yang datang.
Seperti diungkapkan oleh Sumiyati (40) salah satu buruh gendong di pasar Bringharjo. Ia menuturkan setiap hari, harus berangkat dari rumahnya pukul 06.30 WIB. "Aku iki mas tiap dino budal neng pasar bring harjo jam pitu kudu wes teko kene, trus engko mulihe jam sekawan sore, yo lek lagi nasib apik iso sedino sampe 10-15 angkatan”, katanya.
Sambil sesekali mendongakan kepalanya berharap ada mobil barang yang datang, ketika saya mencoba menanyakan berapa penghasilanya setiap hari, sumiyati menjelaskan “ yokalekne wae mas, bayarane sekali angkatan bisa 2000 bisa 3000 perak” ya dikalikan saja mas, uang pembayaran dalam sekali mengangkat barang bisa diberi 2000 bisa juga diberi upah 3000 rupiah.
Sebenarnya saat itu sumiyati juga di temani oleh beberapa buruh gendong lain di pasar bring harjo tetapi ketika saya coba menanyakan kepada mereka, para buruh gendong menjawab kurang lebih sama mas nasib kami, begitu seperti diungkapkan ungkapkan Prapti yang diamini juga oleh Tumisri. Sumiyati wanita paruh baya yang sudah mulai kelihatan beberapa uban rambut kepalanya juga ngudo roso bahwa penghasilanya sebagai buruh gendong juga digunakan sebagai penopang hidup keluargannya sehari-hari.
Setali tiga uang dengan nasib yang dialami oleh sumiyati, Boinem (61) wanita tua yang berasal dari Perengkembang, Balecatur Gamping Sleman. Yang juga menggantungkan nasibnya sebagai buruh gendong di pasar bring harjo, meski pun tubuhnya sudah bisa dibilang renta namun mbah boinem tetap menekuni pekerjaanya sebagai buruh gendong, tubuh yang seharusnya harus bersitirahat dengan tenang di rumah sambil menimang cucu namun tetap harus mengais sesuap nasi demi menghidupi anak-anaknya, mbah Boinem harus berangkat setiap hari ke pasar Bring harjo pukul 05.00 WIB dan biasanya baru pulang pukul 16.00 WIB.
Akibat jauhnya jarak ruman Boinem dari pasar Bring harjo, penghasilan yang tidak sebarapa sebagai buruh gendong terpaksa harus dibagi lagi. Menurutnya, pendapatan harian nya masih juga harus dibagi dengan biaya transportasi, dan lumayan bisa melahap jumlah yang cukup besar untuk ukuran kantong boinem Rp 8.000. Sisanya untuk sekolah anak, dan membiayai keluarga. “oalah mas wes aisile saitik gor 20.000 kuwi wae isik dingo ngebes, pulang pergi iso entek wolongewu," sampainya.
Setelah seharian di pasar Bringharjo Yogyakarta, Pojok Literasi kemudian melaju menuju pusat pasar buah dan sayur di Yogyakarta tepatnya di pasar buah giwangan, pasar buah yang berjarak kurang lebih 10 menit berkendaraan sepeda motor dari pasar Bringharjo.
Siang ini terik sekali, cuaca sangat panas sementara suhu udara begitu tinggi. Dengan terus masuk kedalam pasar, akhirnya Pojok Literasi menemui pemandangan yang sungguh bisa membuat mata kita menitikan air mata, di tengah terik matahari tepat di di tengah pasar di tempat biasa para mobil pegangkut buah dan sayur berhenti terlihat kerumunan orang yang sedang menggerubuti sebuah mobil pembawa tomat dan sayur-sayuran serta sebuah mobil pengusung semangka sangat banyak di kerubuti orang.
Namun anehnya bukan pembeli yang mengerubuti beberapa leleki kekar, dan lebih banyak wanita paruh baya yang di lehernya tergelantung selendang, rupanya mereka adalah para buruh gendong di pasar buah dan sayur giwangan yang tengah mengais rizki, meskipun sinar matahari begitu menyengat, dan keringat bercucuran demi makan anak dan keluarganya mereka rela melakukan itu, mereka bukan wanita-wanita yang rela dengan begitu saja keadaan mereka para wanita pejuang sejati.
Ditengah kerumunan tersebut terlihat seorang wanita yang sudah kelihatan berusia diatas 40 tahun dengan tubuh yang begitu kurus terlihat tengah menggendong sekeranjang besar semangka yang mungkin beratnya bisa mencapai 40kg lebih, Yu Narsih biasa teman-teman seprofesi nya sebagai buruh gendong menyebut namanya.
Narsih terlihat begitu letih dan keringat bercucuran di di kening nya, sesekali narsih mengusap keringat-keringat yang terus berjatuhan bagai butir-butir padi itu. Bagaimana Yu penghasilan hari ini Pojok Literasi coba mencari tahu.
"Biasa mas koyo dino-dino biasane, saiki ora terlalu rame, iki mau aku isih ngangkut peng enem ket sak yahene," ucapnnya sambil berjalan Yu Narmi menjawab pertanyaan, dan kembali lagi mengangkut barang-barang dari mobil yang baru datang menurunkan semangka dan tomat. (edi)
salut dgn perjuangan hidup mrk, ini contoh yg msh muda spy tdk bermalas2an..
BalasHapus