Banjir dan Keserakahan Kapitalisme


SENIN (9 Februari 2015) pagi, Jakarta kembali terendam banjir. Curah hujan yang tinggi tak mampu ditahan oleh pintu air yang terpasang. Setidaknya, menurut data BNPB, Ibukota negara Republik Indonesia ini dikepung oleh 93 titik banjir. Kondisi tersebut memaksa sebagian warga memilih mengungsi.
Banjir yang terjadi di Jakarta ini memang sudah menjadi bencana musiman. Bukan kali pertama juga Jakarta lumpuh karena banjir. Sejarah mencatat, Jakarta pernah dilanda banjir besar pada tahun 1621, 1654, dan 1918. Banjir besar juga kembali mendatangi Jakarta pada tahun 1976, 1996, 2002, 2007, bahkan hingga beberapa tahun belakangan. Sekarang, kita baru saja memasuki bulan kedua di tahun ‘kambing kayu’, dan lagi-lagi, ibukota negara ini lumpuh akibat air bah tumpah di mana-mana. Bahkan hingga ke istana negara. Saking seringnya, banjir selalu dijadikan bahan kampanye para politisi agar bisa melenggang duduk di kursi pemerintahan. Begitu juga dengan gubernur yang memimpin Jakarta tahun ini.
Harus diakui, pemerintah juga sudah banyak menggelontorkan program yang diperuntukkan untuk penghentian bencana tahunan tersebut. Ratusan miliar bahkan dikuras dari APBD untuk menjalankan beberapa program-program itu. Tapi nampaknya, upaya yang dilakukan pemerintah tersebut belum cukup. Hingga beberapa rakyat berkesimpulan seolah-olah banjir merupakan takdir yang memang harus diterima oleh rakyat Jakarta. Kalau sudah begini, akankan Jakarta menyandang prestasi kota banjir, setelah beberapa waktu yang lalu meraih predikat kota paling macet?
Benar, program-program yang belum menunjukkan progresnya itu jelas membuat rakyat menjadi pesimis akan janji pemerintah. Apalagi, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama sempat bilang, banjir terjadi karena ada sabotase. Tak pelak, statemen pria yang akrab disapa Ahok ini langsung mendapat kecaman di beberapa media sosial. “Baru kali ini ada Gubernur yang bilang banjir karena sabotase,” kicau beberapa orang menanggapi ucapan sang gubernur. Beberapa yang lain bahkan lebih parah mem-bully  pria yang resmi memimpin Jakarta sejak 19 November 2014 ini. Misalnya, dengan menyebut Ahok berhasil membuat tol laut di jalan protokol ibukota. Tak sampai disitu, Ahok juga dianggap berhasil membuat masyarakat Jakarta dihinggapi penyakit kutu air.
Tapi yang jelas, kesimpulannya, watak pemerintah terlihat jelas kala menghadapi bencana. Pemerintah masih bermental selalu menghindari kesahalahn sembari berusaha mencari kambing hitam. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah tak absen mengungkapkan banjir diakibatkan oleh derasnya hujan. Jawaban yang tak jauh beda dengan jawaban anak kecil saat ditanyai guru di depan kelas. Jawaban tersebut tentu tidak salah. Namun, menyalahkan cuaca sebagai biang utama penyebab banjir adalah bentuk lari dari tanggung jawab dan menutup mata dari penyebab utamanya.
Kita semua harus sadar, banjir disebabkan oleh keserakahan dan sikap abai pemerintah terhadap pengurusan rakyat. Model kebijakan ekonomi yang berwatak kapitalistik telah berhasil menyulap wilayah yang seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang alam menjadi hutan beton. Mengubah kawasan situ (danau) menjadi area elite dan komersil. Lihat saja, bangunan di kawasan komersil itu dimiliki oleh pengusaha kaya dan dibandrol dengan harga ratusan juta hingga miliaran rupiah. Atas nama Pendapatan Asli Daerah (PAD), dampak ekonomis pembangunan ini mengorbankan rakyat banyak juga.
Dalam Pasal 33 UUD 45 sebenarnya tertulis jelas perihal tata laksana ekonomi negara yang benar. Tepatnya pada ayat ke-empat, perekonomian harus diselenggarakan berdasar atas wawasan lingkungan. Tapi apa nyana, pemerintah tak begitu care akan pengembangan ekonomi berwawasan lingkungan. Semua tanah harus memiliki nilai tambah dan menghasilkan uang. Semua wilayah harus disulap menjadi hutan gedung, apakah pusat hunian elit atau pusat perdagangan modern. Entah uang itu akhirnya masuk ke kas negara atau masuk ke kantong pribadi. Yang jelas, program pemerintah hanya menguntungkan para pemilik modal.
Kongkalikong antara pejabat dengan kapitalis ini membuat program penanggulangan banjir apapun tidak akan dapat menyelesaikan persoalan. Karena sejatinya, akar persoalan banjir bukan pada tata ruang wilayah, tapi pada ideologi yang dianut oleh seluruh penguasa negeri ini. Sementara banjir hanyalah efek biliard dari sistem ekonomi yang saat ini diterapkan oleh negara ini.
Persoalan banjir di ibu kota negara ini cuma salah satu dampak dari sistem ekonomi yang tak berpihak pada rakyat tersebut. Karena itu, penguasa harus segera mengubah pola pikir dan sistem yang ada saat ini, menjadi sistem yang lebih ber-prikemanusiaan. Sistem ekonomi yang bercirikan Pancasila dan bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia – seperti yang tertuang pada sila kelima. Bukan hanya adil untuk para pemilik modal.
Tentu kita semua tidak ingin persoalan bencana selalu terjadi serta berlarut-larut tanpa jalan keluar dan solusi. Bencana imbas dari keserakahan juga akan terus terjadi. Sudah cukup lumpur Lapindo meyembur, hutan terbakar, tsunami menerjang, air bah meluap, menjadi peringatan atas keserakahan manusia mengekspoitasi alam.
Akhirnya, mari kita ucapkan ‘Selamat datang banjir’. Tahun depan, akankah datang lagi? (**)

Tedi CHO, penggiat Pojok Literasi Indonesia
Diposting juga di: Berdikari Online

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih