BERITA

Klik untuk mendapatkan berita-berita Pojok Literasi Indonesia

OPINI

Kumpulan artikel dan opini Pojok Literasi Indonesia

SASTRA

Tulisan sastra berupa kumpulan puisi, cerpen dan lain sebagainya



Pojok pesan hari ini

"....Ikatlah ilmu dengan menulis..."
Ali Bin Abi Thalib


_______________________________________

“..... Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian...."
Pramoedya Ananta Toer - LEKRA


Kebijakan Liberal Jokowi

Di tahun 2015 ini, beban kantong rakyat Indonesia makin berat. Bagaimana tidak? Harga semua kebutuhan dasar rakyat makin melambung naik. Dimulai dari bahan bakar minyak (BBM), elpiji yang makin mendaki, mengakibatkan semua produk ikut berlomba terkerek naik, mencekik jantung ekonomi rakyat. Ini tak lain diakibatkan oleh kebijakan ekonomi liberal yang diterapkan oleh pemerintahan Jokowi sedari memimpin.

Kebijakan liberal dan kapitalistik tersebut tercermin dari rajinnya pemerintah mencabut PSO (Public Service Obligation) atau subsidi. Pencabutan subsidi atas minyak dan gas (migas) dan menyerahkan harga-harganya ke mekanisme pasar global menjadi muaranya. Alhasil, harga-harga lainnya ikut melambung naik, sebagai efek billiard dari ideologi si rezim.

Sebenarnya, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 15 Desember Tahun 2004 lalu telah membatalkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 28 ayat 2 tentang Minyak dan gas Bumi (Migas).  Putusan MK ini secara jelas menunjukkan adanya larangan penentuan harga migas berdasarkan mekanisme harga pasar. MK beralasan UU Nomor 22 tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 yang intinya mengamanatkan cabang SDA yang penting harus dikuasai negara untuk kepentingan rakyat.

Tapi rezim Jokowi terus memutar otak, dan tetap keukeh menetapkan harga migas sesuai harga pasar dengan alas an APBN selalu jebol akibat subsidi. Singkatnya, pemerintah mengenalkan 3 nama BBM kepada rakyat Indonesia, yakni BBM subsidi, BBM penugasan, dan BBM umum.

BBM Subsidi contohnya adalah solar yang  dipotong Rp 1000 dari harga dunia. BBM Penugasan misalnya bensin yang subsidinya telah dicabut tapi masih perlu effort pemerintah untuk mendistribusikannya. Sedangkan BBM umum misalnya pertamax dan pertamax plus yang harganya berdasarkan harga pasar dunia ditambah dengan biaya distribusi lagi (jadi, harganya berbeda antar daerah).

Meskipun namanya beda-beda, harga BBM ini nyatanya tetap saja naik turun bak roller coaster, mengikuti gelombang harga Means of Platts Singapore (MOPS).  Untuk Maret 2015 ini, pemerintah menetapkan harga BBM RON 88 Rp 6.900/liternya. Sementara pertamax (RON 92), seperti ditulis diatas berbeda-beda di tiap daerah, mulai dari Rp 8.250 hingga Rp15.200/liter (di Maluku Utara). Sedangkan, minyak tanah dan solar Rp 2.500 dan Rp 6.400 per liter.

Kebijakan yang sama juga berlaku untuk harga gas /elpiji. Selain gas melon (elpiji 3 kg yang masih disubsidi), harga elpiji non-PSO juga merujuk pada harga gas dunia, tepatnya harga yang ditetapkan oleh contract price (CP) Aramco. Sementara CP Aramco sendiri mengikuti tren harga minyak dunia dalam menetapkan harga.

Untuk diketahui juga, PT Pertamina (persero) masih mengandalkan impor dari Negara-negara Timur Tengah untuk memenuhi kebutuhan gas nasional. Perusahaan plat merah itu mencatat, Indonesia yang dikenal dengan negara yang kaya akan migas (minyak dan gas) ini musti mengimpor 67% dari total kebutuhan gas. Sebab, kilang gas yang ada di dalam negeri seperti Badak LNG dan swasta (LPG & K3S), hanya bisa memenuhi sekitar 2,2 juta Metrik Ton gas per tahunnya.

Selain migas, tarif listrik juga diserahkan ke mekanisme pasar. Untuk golongan diatas 1.300 VA sudah resmi mengikuti tarif penyesuaian (tariff adjusment) sejak Januari 2015 lalu. Rencananya, untuk tarif golongan rumah tangga (1.300 VA ke bawah) juga akan ditetapkan untuk mengikuti tarif penyesuaian tersebut pada April 2015 mendatang.

Tak hanya listrik, pada April 2015 mendatang, tarif kereta api ekonomi juga akan naik karena dicabut subsidinya. Pemerintah berdalih, akan mengalokasikan subsidi tersebut ke sektor yang lebih penting. Alhasil, per April nanti, tarif kereta kelas ekonomi jarak jauh dan sedang tersebut akan naik mencapai 2 kali lipat dari tarif saat ini.

Akibat roller coaster-nya harga migas tersebut, harga kebutuhan rakyat lainnya juga ikut naik turun seperti 'yoyo'. Mulai dari tarif transportasi, harga kebutuhan pokok, seperti beras juga ikut naik hingga 30%.

Gencarnya, pencabutan subsidi BBM, TDL, elpiji  tersebut sejatinya telah direncanakan sejak lama sebagaimana yang didesakkan oleh lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia, IMF, USAID dan ADB. Pemerintahan komprador seperti sekarang hanya tinggal mencari alasan agar kebijakan tersebut seolah logis dan diterima oleh rakyat.

Misalnya dengan menyebut subsidi bisa mendistorsi pasar sehingga perusahaan-perusahaan swasta (termasuk asing) tidak dapat berkompetisi secara sehat di negara ini. Atau memandang subsidi sebagai beban fiskal yang tidak memberikan manfaat bagi perekonomian. Lebih lanjut, pemerintah mengampanyekan subsidi sebagai biang kerok tidak berkembangnya BUMN dibanding perusahaan-perusahaan swasta.

Padahal negara-negara yang saat ini masuk dalam kategori negara-negara maju dan menerapkan ekonomi liberal sekalipun seperti AS dan Inggris, dulunya juga  menerapkan proteksi ekonomi dan subsidi. Ditambah dengan berbagai rangkaian kebijakan yang besar untuk memperkuat fundamental ekonomi mereka agar dapat bersaing. Paradoks memang, dengan apa yang saat ini mereka serukan kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Contoh lain, negara-negara industri seperi Jepang, Finlandia dan Korea Selatan juga membatasi masuknya modal asing demi melindungi industri domestik. Pada tahun 1970-an, Korea bahkan memberikan  bantuan  keuangan besar-besaran untuk mengembangkan industri kapal, baja dan elektronik di negara tersebut.

Singkatnya, apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia sekarang, lebih menunjukkan kepatuhan rezim pada konsep-konsep kapitalisme yang oleh para penyerunya justru diabaikan. Semua ini tidak lain agar asing dapat dengan mudah menjajah dan menjerumuskan Indonesia dalam kubangan kapitalisme dan liberalisme.

Karena itu, rezim nampaknya harus kembali membaca amanat dari pendiri bangsa ini. Dimana, dalam UUD 1945 pasal 33 dijelaskan bahwa seluruh sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikelola oleh negara. Pengelolaan itu, bertujuan untuk kemakmuran rakyat seutuhnya. Bukan seperti sekarang, digadaikan sepenuhnya, demi kemakmuran rezimnya sendiri. (cho)

Tabik.

Menteri Susi dan Jeritan Nelayan


AKSI massa yang dilakukan nelayan di daerah-daerah harusnya menjadi perhatian serius oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Dengan jamaknya demonstrasi para nelayan tersebut, menunjukkan kebijakan-kebijakan yang digelontorkan oleh pemilik Susi Air ini tidak pro terhadap nelayan.
Umumnya, para nelayan tersebut menolak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Pukat Hela dan Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Terlebih lagi, Menteri Susi tersebut tidak mencantumkan alat tangkap ikan apa yang dapat digunakan para nelayan akibat adanya peraturan itu. Karena itu, para nelayan menganggap mantan Presiden Direktur PT ASI Pudjiastuti Marine Product tersebut hanya melarang tanpa memberikan solusi.
Beberapa hari yang lalu misalnya, tak kurang dari 100 nelayan Kota Bengkulu yang tergabung dalam Jangkar Mas melakukan demo sembari peraturan tersebut dicabut. Belum lagi, beberapa para nelayan ditangkap dan kapalnya ditenggelamkan karena menggunakan trawl. Padahal, para nelayan itu mengaku selama ini tidak pernah mendapatkan sosialisasi perbedaan antara trawl dan cantrang.
Mereka bilang, nelayan mencari ikan bukan untuk mencari kekayaan, melainkan untuk biaya hidup anak dan istri serta biaya sekolah anak-anaknya.
Tak hanya di Bengkulu, puluhan nelayan dari di Jatim ternyata juga menggelar aksi protes menolak kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti tersebut. Mereka bahkan meminta Presiden Jokowi memecat Menteri yang lahir di Pangandaran, 1965 lalu itu. Pasalnya, mereka menilai Menteri Susi sudah tidak pro kepentingan nelayan.
Selain menolak Permen No 2 tahun 2015, para nelayan tersebut juga meminta agas peraturan No 1 tahun 2015 dicabut. Dimana, peraturan tersebut menegaskan para nelayan dilarang untuk menangkap lobster (Panulirus), Kepiting (Scylla) dan Rajungan (Portunus Pelagicus) dalam kondisi bertelur. Dengan adanya peraturan tersebut, nelayan Indonesia dianggap sebagai pencuri yang harus berhadapan dengan penegak hukum.
Di Malang pun demikian. Para nelayan yang ada di Malang menyampaikan alat pukat tarik yang digunakan selama ini memang sudah turun temurun digunakan nenek moyang nelayan. Jika dilarang, maka akan ada jutaan nelayan yang kehilangan pekerjaan.
Selain Bengkulu, Malang, Jatim,  demonstrasi lainnya juga dilakukan para nelayan yang ada di Jawa Tengah. Bahkan, bisa dibilang demo tersebut terjadi hampir di semua daerah. Bahkan, para nelayan tersebut juga sempat menyambangi istana negara untuk menyampaikan aspirasinya. Bisa disimpulkan, semua nelayan tersebut merasa sangat terbebani dengan aturan yang dikeluarkan oleh Menteri Susi tersebut. Karena itu, mereka menuntut agar Jokowi mencopot Menteri Susi.
Menteri Susi sendiri tak gentar menghadapi jamaknya penolakan atas kebijakannya tersebut. Bahkan, ia menyatakan pemerintah pusat tidak akan memberikan bantuan kepada nelayan jika masih menggunakan trawl (pukat harimau).
"Kalau masih ada trawl kita tidak akan beri bantuan, sita jaringannya. Pemerintah harus kerja, saya akan tarik seluruh bantuan kalau masih ada trawl," ujar Susi seperti dilansir dari Setkab.
Selain itu, enggannya mencabut aturan pelarangan alat tangkap cantrang yang terkandung dalam Permen Nomor 2 Tahun 2015 karena Permen tersebut tidak bertentangan dengan aturan sebelumnya. DImana, Perpres tentang pelarangan penggunaan cantrang sebenarnya sudah ada sejak 1980. Karena itu, Permen tersebut menurutnya bukan buatan dia, melainkan hanya penegasan dari Perpres tersebut.
Susi mengungkapkan, pemerintah juga telah memberi anggaran pasca penerapan kebijakan tersebut. Tak hanya itu, ia bilang dari peta kelautan dan perikanan di Indonesia. Sudah jelas wilayah-wilayah yang mana saja yang dilarang menggunakan alat tangkap cantrang.
Ia menilai, pelarangan alat tangkap cantrang bukan ditujukan untuk mematikan bisnis para nelayan atau pengusaha di sektor kelautan dan perikanan. Akan tetapi lebih kepada menyelamatkan keberadaan para nelayan. Karena 10-20 tahun ke depan, jika alat tangkap yang berbahaya tersebut masih digunakan, orang tidak mau jadi nelayan karena SDA-nya sudah tidak ada lagi.
Pasalnya, dengan alat tangkap tersebut semuanya diambil, dasar laut dikeruk. Parahnya lagi, kata Susi, trawl itu kebanyakan yang dibuang dibandingkan diambil. Dari 5 ton itu yang diambil 4 ton. Singkatnya, peraturan tersebut selain untuk melindungi laut Indonesia beserta SDA-nya, lanjut Susi, juga untuk melindungi nelayan itu sendiri. (**)

Tedi Cho
Warga Nusantara

Menanti Kebijakan Jokowi untuk Newmont

Tanggal 3 maret 2015 menjadi batas waktu bagi amandemen kontrak PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT), terkait dengan kewajiban Perusahaan AS tersebut dalam menjalankan Pasal 170 UU Minerba yang berbunyi: "Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan".
Tapi, pemerintah Jokowi diprediksi akan mengambil kebijakan yang kompromistis dengan perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut. Pemerintahan Jokowi tampaknya akan kembali membegal UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
"Caranya adalah dengan menggunakan menerbitkan Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepakatan antara Kementrian ESDM dengan Perusahaan Tambang raksasa multinasional tersebut.
Batas waktu bagi  PT Newmont untuk menjalankan kewajibannya sesuai UU Minerba sebenarnya sudah berakhir Januari 2014 lalu. Namun hingga saat ini belum ada sinyal apakah perusahaan tambang terkaya di dunia yang salah satu operasi terbesarnya di Indonesia ini akan menunaikan semua kewajibannya. Rencana pembangunan smelter atau pabrik pemurnian tembaga tidak ada progresnya sama sekali. Demikian pula kebijakan pemerintah untuk menentukan tahapan pembangunan smelter juga sama sekali tidak terlihat.
"Padahal, rakyat sekitar lokasi tambang sudah mendesak agar smelter di wilayah Sumbawa NTB, tempat perusahaaan beroperasi."
Inilah alasan utama, dugaan kuat pemerintahan Jokowi akan kembali mengambil jalan kompromi dengan membuat MOU yang isinya ; memberi perpanjangan waktu kepada PT Newmont, mengijinkan PT. Newmont tetap melakukan ekspor, dan lain-lain.
"Cara semacam ini merupakan pembegalan terhadap Konstitusi dan UU yang berlaku, serta rawan menjadi bancakan pemerintah."
Sebelumnya Pemerintahan Jokowi telah membegal UU Minerba dengan memberikan kepada PT Freeport perpanjangan ijin eksport, kelonggaran tidak membangun smelter, hanya menggunakan selembar MOU. 

Tapi, rakyat Indonesia tentu masih berharap besar. Pemerintah Jokowi - JK ini harus memberikan kebijakan progresifnya dalam bidang migas bumi. Kita ingin pemerintah saat ini menjadi penyambung lidah rakyat. Bukan menjadi komprador yang melanggengkan kepentingan imperialis. (cho)

Serangan 1 Maret Presiden Jokowi





1 Maret harus dicatata betul dalam ingatan rakyat Indonesia. Pasalnya, pada tanggal 10 Jumadil Awal ini, presiden Jokowi kembali menggulirkan beberapa kebijakan yang menyerang jantuing ekonomi rakyat Indonesia. Yakni, menaikkan harga-harga kebutuhan pokok rakyat.

Menjelang 1 Maret harga beras melambung hingga 30 persen. Kondisi yang cukup memilukan. Pasalnya, beras masih menjadi makanan utama rakyat Indonesia. Selain itu, panen raya juga sebenarnya tak lama lagi akan menjumpai rakyat. Mendapati harga pangan pokok rakyat yang terkerek tinggi tersebut, pemerintahan Jokowi akhirnya menggelar operasi pasar. Tak hanya itu, program beras untuk rakyat miskin (raskin) juga akhirnya kembali digelontorkan untuk mengatasi masalah kenaikan ini.

(Baca juga: Harga Kebutuhan Melambung Naik)

Belum kelar mengatasi gejolak kenaikan harga beras, Jokowi malah mengambil kebijakan tak pro rakyat. Bahan Bakar Minyak (BBM) naik naik di awal Maret. Pemerintah berasalan harga dunia akan mengalami tren kenaikan pada Maret ini. Memang, pasca Jokowi memutuskan untuk mengakhiri subsidi migas, harga BBM menjadi fluktuatif dan mengikuti harga pasar dunia. Sayang, prediksi tersebut jauh dari tepat. Pada tanggal 2 Maret, harga minyak global malah turun. Sayangnya lagi, kebijakan menaikkan harga BBM tak mungkin berlaku selama sehari. Alhasil, minyak jenis premium dan pertamax tetap naik.

BBM jenis RON 88 dan RON 92 serta RON 95 tersebut memang naik tipis, sekitar Rp 200 rupiah per liternya. Namun, ongkos kenaikan tersebut sangat membingungkan baik itu konsumen juga pengusaha SPBU karena kebijakan roller coaster harga BBM tersebut sangat menyibukkan matematika keekonomian rakyat.

Tak hanya BBM, gas elpiji 12 kilogram juga ikut terkerek naik. Naiknya harga gas sebesar Rp 5.000 per tabung biru tersebut jelas ikut menyerang jantung rakyat. Lebih kejam dari serangan jantung yang sesungguhnya, karena rakyat bak ditembaki oleh riffle bertubi-tubi.

Sudah pasti, jika harga BBM dan gas naik. Harga kebutuhan pokok lainnya pasti akan ikut terseret ke atas. Biaya transportasi tinggal menunggu untuk naik. Biaya makan (konsumsi) juga sejurus dengan itu. Yang jelas, formal atau tidak, semuanya pasti ikut naik.

Selain itu, kenaikan harga BBM dan gas tersebut juga akan berimplikasi pada kondisi ekonomi Indonesia yang berada di amabang ketidakpastian. Asumsi inflasi, kebijakan suku bunga dan pengambilan kebijakan ekonomi makro lainnya juga akan susah kerena ekonomi yang selalu berubah-ubah mengikuti tren global tersebut. Padahal, Jokowi janji ekonomi harus berdikari (berdiri di kaki sendiri). 

Tak hanya itu, penetapan angka subsidi dalam APBN juga akan tertanggu. Bahkan, dana subsidi dalam APBNP 2015 sangat rawan dimanipulasi dan menjadi bancakan pemerintah yang sedang berkuasa.
Untuk perusahaan, hal ini akan semakin menyulitkan untuk merencanakan besaran upah, biaya produksi, pengeluaran, dan lain sebagainya. Ujung-ujunganya, nasib pekerja akan menjadi korban dari kesukaran tersebut. Cita-cita menyejahterakan rakyat juga akan menjadi mimpi kosong di siang bolong.

Kebijakan  migas ala yoyo Jokowi karena menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar tersebut, jelas melanggar konstitusi. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 15 Desember Tahun 2004 telah membatalkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 28 ayat 2 tentang Minyak dan gas Bumi (Migas), yang mengatur proses pembentukan harga eceran BBM dalam negeri sepenuhnya kepada mekanisme persaingan pasar. 

Putusan MK ini menunjukkan adanya larangan penentuan harga BBM berdasarkan mekanisme harga pasar. Pembatalan ini didasari pertentangan pasal 28 ayat 2 UU Migas dengan UUD 1945 Pasal 33 yang intinya mengamanatkan cabang Sumber Daya Alam yang penting dikuasai negara untuk kepentingan rakyat. Dalam bahasa lain, kebijakan migas yoyo ala JOkowi tersebut tanpa payung hukum.

Karena itu, rakyat harus menyerukan kepada penguasa saat ini untuk tidak macam-macam mengatur ekonomi seenaknya sendiri. Sudah saatnya Indonesia kembali melaksanakan UUD 1945. Dalam hal ekonomi, semuanya sudah termaktub jelas dalam Pasal 33 UUD 45 tersebut.
Salam Sejahtera !!! (cho)

Misbach; Haji Kok Komunis?



"…Agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya...."

HM Misbach


Banyak yang bilang komunis itu pasti atheis, tidak percaya dengan adanya tuhan. Anggapan itu tidak sekoyong-konyong hadir tentunya. Ada satu sistem, ada satu penguasa sistem yang mengendalikan itu. Kalau kata Lenin, penguasa infrastruktur akan menguasai suprastruktur (dalam hal ini opini rakyat). Tentu saya tidak perlu menjawab, siapa si penguasa tersebut. Dari sejarah tragedi 1965, para pembaca sudah bisa menjawabnya sendiri.
Ternyata, anggapan bahwa komunis itu perlahan mulai patah. Atheis adalah ideologi agama, sementara komunis adalah ideologi ekonomi politik. Ideologi itu jelas berbeda. Makanya, kita sering dengar Tan Malaka sering mengucapkan, yang kira-kira begini bunyinya: "Di depan Tuhan, aku beragama. Di depan kalian (manusia), aku adalah seorang komunis."
Adalah Haji Mohammad Misbach yang menjadi fakta konkrit untuk membantah doktrin palsu tersebut. Haji Misbach atau yang lebih dikenal dengan Haji Merah adalah seorang tokoh pergerakan Islam. Haji yang lahir pada 1876 ini dilahirkan di Kauman, di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Semasa kecil, dia bernama Ahmad, lalu berganti nama menjadi Darmodiprono setelah menikah. Usai menunaikan ibadah haji, barulah dia dikenal sebagai Haji Mohamad Misbach.
Bibit relijius tidak hadir begitu saja di dalam diri haji yang wafat pada 1926 ini. Diketahui, ayahnya adalah seorang pejabat keagamaan selain juga seorang pedagang batik yang kaya raya. Pada usia sekolah, dia ikut pelajaran keagamaan dari pesantren, selain di sekolah bumiputera "Ongko Loro".
Mendapatkan pendidikan berbasis pesantren serta lingkungan keraton Surakarta menjadikan Misbach memilih jalan menjadi seorang Mubaligh. Seiring perjalanan hidupnya, ia kepincut dengan ideologi komunis yang sangat berpengaruh pada era perjuangan pembebasan penjajahan kala itu. Karena itu, meski orang tunya menjabat sebagai pejabat keagamaan keraton, hal tersebut tidak membuat Misbach takut untuk menyuarakan suara wong cilik.
Perkenalan Misbach dengan dunia aktivis menarik minatnya untuk mulai melibatkan diri secara penuh dengan bergabung dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB) bentukan Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914. Setahun kemudian, ia menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin, sebagai koran perjauangannya. Dan aktif menyuarakan suara rakyat serta melawan kolonialisme dengan pena jurnalisme.
Tahun 1917, ia menerbitkan kemudia surat kabar Islam Bergerak. Setahun kemudian, Misbach bergabung dengan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad. Pada tahun ini pula, tepatnya 10 Juli, ia membentuk Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV).
Semakin giat mengorganisir dan melawan penjajah, pada tanggal 7 Mei 1919, ia akhirnya ditangkap. Ini setelah ia menggambar kartun di Islam Bergerak yang isinya menyinggung kapitalis Belanda dan Pakubuwono X. Tapi, kemudia dibebaskan pada 22 Oktober 1919.
Tak sekali itu saja, pada tanggal 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Keluar dari penjara, ia semakin garang. Tepat tahun 1922, ia memutuskan keluar dari Muhammadiyah. Pasalnya, ia menilai kedua organisasi itu dianggap mandul dan bersikap kooperatif dengan pemerintah
Mei 1923, ia kembali muncul dan memproklamirkan SI Merah/PKI. Karena keberaniannya itu, tanggal 20 Oktober 1923, ia kembali dijebloskan ke penjara dengan tuduhan terlibat dalam aksi-aksi pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pemboman dan lain-lain. Tak sampai situ, Juli 1924, si Haji Merah kembali ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan teror-teror di Surakarta dan sekitarnya.

Pergerakan Islam
Pertanyaan mendalamnya, kenapa akhirnya Haji Misbach memilih untuk menjadi seorang muslim yang komunis? Perbedaan dinamika sosial Islam di Yogya dan Surakarta masa itu menjadi penyebab utamanya.
Seperti diketahui, di Yogya, Muhammadiyah yang didirakan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 di segera menjadi sentral kegiatan kaum muslimin yang saleh yang kebanyakan berlatar belakang keluarga pegawai keagamaan Sultan. Ayah Dahlan adalah chatib amin Masjid Agung dan ibunya putri penghulu (pegawai keagamaan kesultanan) di Yogya. Para penganjur Muhammadiyah umumnya anak-anak pegawai keagamaan. Kala itu birokrat keagamaan umumnya adalah alat negara sehingga wewenang keagamaannya tidak berasal dari kedalaman pengetahuan tentang Islam tetapi karena jabatannya. Meskipun mereka berhaji dan belajar Islam, masih kalah wibawa dibandingkan para kiai yang pesantrennya bebas dari negara. Kendati demikian, reformisme Muhammadiyah berhasil menyatukan umat Islam yang terpecah-pecah. Tablig-tablignya, kajian ayat yang dijelaskan dengan membacakan dan menjelaskan maknanya di masjid-masjid, pendirian lembaga pendidikan Islam, membangunkan keterlenaan umat Islam. Mereka tumbuh menjadi pesaing tangguh misionaris Kristen dan aktivis sekolah-sekolah bumiputera yang didirikan pemerintah.
Nah, lain halnya dengan di Surakarta, kala itu belum ada pengaruh sekuat Dahlan dan Muhammadiyah. Ini karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa, Madrasah Mamba'ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906). Selain itu, Sarekat Islam (SI) juga sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis pergerakan Islam. Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai, guru-guru Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa, Medan Moeslimin. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain tersalur. Kelompok ini menyebut diri "kaum muda Islam".
Dalam pergerakan Islam Surakarta dan Yogya terdapat perbedaan mencolok. Di Yogya, gerakan Islam tidak hanya reformis, tapi juga modernis. Sementara di Surakarta, pergerakan islamnya lebih revolusioner. Tidak hanya berdiri di atas mimbar masjid saja. Pasalnya, kegiatan keislaman di Surakarta banyak dipengaruhi kiai progresif, seperti Kiai Arfah dan KH Muhammad Adnan.
Saking derasnya demokrasi pemikiran, perpecahan kelompok Islam di Surakarta tak bisa terelakkan. Berawal dari artikel Djojosoediro di surat kabar Djawi Hisworo, yang mana pemimpin redaksinya adalah Martodharsono. Tulisan tersebut dianggap menyingung dan dianggap liberal oleh kalangan ortodoks.
Sarekat Islam, sebagai organisasi Islam terbesar kala itu, merasa wajib untuk melakukan pembelaan. Untuk itu, pada awal Februari 1918, Tjokroaminoto telah membentuk apa yang disebut Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan Kaum Muslimin”.
Pembentukan TKNM oleh Tjokroaminoto inilah yang kemudian mencuatkan nama Misbach sebagai mubaligh vokal. Misbach lalu menyikapi dengan segera membentuk perkumpulan tablig reformis bernama Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV) untuk memperkuat “kebenaran dan memajukan Islam”. Ia menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM. Segeralah beredar cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di podium.
Komunitas yang dulunya kurang greget menyikapi keadaan itu tiba-tiba menjadi dinamis. Kaum muslimin Surakarta berbondong-bondong menghadiri rapat umum di lapangan Sriwedari, pada 24 Februari 1918 yang konon dihadiri 20.000-an orang. Tjokroaminoto mengirim Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan redaktur jurnal Islam Surabaya, Sinar Islam), dua orang kepercayaannya di TKNM. Waktu itu terhimpun sejumlah dana untuk pengembangan organisasi ini. Muslimin Surakarta bergerak proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya penghinaan terhadapnya. Inilah awal perang membela Islam dari "kaum putihan" Surakarta.
Belakangan, muncul kekecewaan jamaah TKNM ketika Tjokro tiba-tiba saja mengendurkan perlawanan kepada Martodharsono dan Djawi Hisworo setelah mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan dengan H Hasan bin Semit. Buntutnya, H Hasan bin Semit keluar dari TKNM. Beredar artikel menyerang petinggi TKNM. Muncul statemen seperti "korupsi di TKNM dianggap sudah menodai Nabi dan Islam".
Dalam situasi itu, Misbach muncul menggantikan Hisamzaijni, ketua subkomite TKNM dan menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel pertamanya di media ini berjudul Seroean Kita. Dalam artikel itu, ia menyajikan gaya penulisan yang khas, yang kata Takashi, menulis seperti berbicara dalam forum tablig. Ia mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke dalam kutipan Al-Quran kemudian keluar lagi dari ayat itu. "Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig." Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan perkumpulan tablig SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang lebih muda.
SATV menyerang para elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta, menyebut mereka bukan Islam sejati, tetapi "Islam lamisan", "kaum terpelajar yang berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk menyelamatkan namanya sendiri." Dasar keyakinan SATV dengan Misbach sebagai ideolognya, "membuat agama Islam bergerak". Misbach kondang di tengah muslimin bukan sekadar karena tablignya, melainkan ia menjadi pelaku dari kata-kata keras yang dilontarkannya di berbagai kesempatan. Ia dikenal luas karena perbuatannya "menggerakkan Islam": menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.
Ada dua perbedaan SATV dibanding Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi strategis di tengah masyarakat keagamaan Yogya, sedangkan SATV adalah perhimpunan muslimin saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan keagamaan, manipulasi pemerintah, dan para kapitalis. Kedua, militansi para penganjur Muhammadiyah bergerak atas dasar keyakinan bahwa bekerja di Muhammadiyah berarti hidup menjadi muslim sejati. Sedangkan militansi SATV berasal dari rasa takut untuk melakukan manipulasi, dan keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Di mata pengikut SATV, muslim mana-pun yang perbuatannya mengkhianati kata-katanya berarti muslim gadungan.
Lalu apa pandangan politik Haji Merah? Misbach memiliki posisi yang unik dalam sejarah tanah air. Namanya sering disandingkan dengan Semaun, Tan Malaka, atau golongan kiri lainnya. Di kalangan gerakan Islam, memang namanya nyaris tak pernah disebut karena berpaham komunis. Menurutnya, Islam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.
Marco Kartodikromo, seorang wartawan yang juga seorang aktivis kebangkitan nasional asal Hindia-Belanda pada saat itu, berkisah tentang Misbach:
".. Di Pemandangan Misbach tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa dengan orang yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di antara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain kepala cara Jawa. Dan sebab itu dia lebih gemar memaki kain kepala dari pada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut Haji".
Apa yang tersirat dari tulisan Marco adalah populisme Misbach. Populisme seorang Haji, sekaligus pedagang yang sadar akan penindasan kolonialisme Belanda dan tertarik dengan ide-ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia pada zaman itu.
Misbach langsung terjun melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat umum/vergadering yang dijadikan mimbar pemblejetan kolonialisme dan kapitalisme. Orang menggambarkan dirinya sebagai sosok yang tak segan bergaul dengan anak-anak muda penikmat klenengan (musik Jawa) dengan tembang yang sedang populer. Satu tulisan lain tentang Misbach menyebutkan, di tengah komunitas pemuda, dia menjadi kawan berbincang yang enak. Sementara di tengah pecandu wayang orang, dia lebih dihormati ketimbang direktur wayang orang.
"... di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama."
Misbach sangat antikapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak. Tak peduli apakah dia juga seorang aktivis organisasi Islam. Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda adalah jalan yang akan dilawan dengan gigih. Maka kelompok yang anti politik, anti pemogokan, secara tegas dianggap berseberangan dengan misi keadilan.
Misbach membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, membebani pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai "suara dari luar dunia petani". Bunyinya, "Jangan takut, jangan kawatir". Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Ekstremitas sikap Misbach membuat dia ditangkap, 7 Mei 1919, setelah melakukan belasan pertemuan "kring" (subkelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya Misbach dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia (SH), organisasi para bumiputera.
Misbach menegaskan kepada rakyat "jangan takut dihukum, dibuang, digantung", seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham komunis. Misbach mengagumi Karl Marx. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat miskin, mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agamapun dirusak oleh kapitalisme sehingga harus dilawan dengan historis materialisme.
Pada konggres PKI tanggal 4 Maret 1923 yang dihadiri 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah dan beberapa perkumpulan serikat komunis, Misbach memberikan uraian mengenai relevansi Islam dan komunisme dengan menunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an serta mengkritik pimpinan SI Putih yang munafik dan menjadikan Islam sebagai selimut untuk memperkaya diri sendiri. Pada tahun 1923 pula, dia menulis kritikannya terhadap Tjokroaminoto di Medan Moeslimin dengan judul “Semprong Wasiat: Disiplin Organsisi Tjokroaminoto Menjadi Racun Pergerakan Rakyat Hindia”.
Kekecewaannya terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa, membuat dia memilih ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI) ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah melahirkan PKI/SI Merah, bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta. Dia pun muncul sebagai pimpinan PKI di Surakarta, yang kemudian mengubah surat kabar Islam Bergerak menjadi Ra’jat Bergerak dan penyatuan secara de fakto organ PKI Yogyakarta berbahasa Melayu, Doenia Baroe, ke dalam Ra’jat Bergerak pada September 1923. Berjuang melawan kapitalisme, tak membuat dia tidak menegakkan Islam. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama dengan berjuang melawan setan.
Masa pembuangan
Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya, Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap. Pada 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Pada 22 Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta. Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Pada tanggal 20 Oktober 1923, Misbach kembali dijebloskan ke penjara dengan tuduhan terlibat dalam aksi-aksi revolusioner yaitu pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pemboman dan lain-lain. Bulan Juli 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan teror-teror/sabotase di Surakarta dan sekitarnya. Walaupun bukan yang pertama diasingkan tapi ia-lah orang yang pertama yang sesungguhnya berangkat ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri.
Terkait dengan "teror-teror" yang terjadi di Jawa tersebut, Misbach tetap dipercaya sebagai otaknya. Dia ditangkap. Dalam pengusutan sejumlah fakta memberatkannya meskipun belakangan para saksi mengaku memberi kesaksian palsu karena iming-iming bayaran dari Hardjosumarto, orang yang "ditangkap" bersamanya. Hardjosumarto sendiri juga mengaku menyebarkan pamflet bergambar palu, arit, dan tengkorak, membakar bangsal sekatenan, dan mengebom Mangkunegaran. Namun Misbach tetap tidak dibebaskan. Dia dibuang ke Manokwari, Papua, beserta dengan istri dan tiga anaknya. Ternyata pembuangan tidak membuatnya berhenti bergerak, dia masih sempat mendirikan Sarekat Rakyat cabang Manokwari, yang anggotannya tidak pernah lebih dari 20 karena gangguan Polisi Belanda. Selain itu, dia juga menyusun artikel berseri "Islamisme dan Komunisme". Medan Moeslimin kemudian memuat artikel tersebut,
"…agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum."
Ditengah ganasnya alam di tempat pembuangannya, dia terserang malaria dan meninggal di pada 24 Mei 1926 dan dimakamkan di kuburan Penindi, Manokwari, di samping kuburan istrinya. Tjipto Mangunkusuma dalam surat kabar Panggoegah, 12 Mei 1919 melukiskan keberanian Misbach dalam melawan kolonialisme Belanda sebagai "seorang ksatria sejati" yang mengorbankan seluruh hidupnya untuk pergerakan. (cho)