"…Agama
berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan
untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya
manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya...."
HM
Misbach
Banyak yang bilang
komunis itu pasti atheis, tidak percaya dengan adanya tuhan. Anggapan itu tidak
sekoyong-konyong hadir tentunya. Ada satu sistem, ada satu penguasa sistem yang
mengendalikan itu. Kalau kata Lenin, penguasa infrastruktur akan menguasai
suprastruktur (dalam hal ini opini rakyat). Tentu saya tidak perlu menjawab,
siapa si penguasa tersebut. Dari sejarah tragedi 1965, para pembaca sudah bisa
menjawabnya sendiri.
Ternyata, anggapan
bahwa komunis itu perlahan mulai patah. Atheis adalah ideologi agama, sementara
komunis adalah ideologi ekonomi politik. Ideologi itu jelas berbeda. Makanya,
kita sering dengar Tan Malaka sering mengucapkan, yang kira-kira begini
bunyinya: "Di depan Tuhan, aku beragama. Di depan kalian (manusia), aku adalah
seorang komunis."
Adalah Haji Mohammad
Misbach yang menjadi fakta konkrit untuk membantah doktrin palsu tersebut. Haji
Misbach atau yang lebih dikenal dengan Haji Merah adalah seorang tokoh
pergerakan Islam. Haji yang lahir pada 1876 ini dilahirkan di Kauman, di sisi
barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung
Surakarta. Semasa kecil, dia bernama Ahmad, lalu berganti nama menjadi
Darmodiprono setelah menikah. Usai menunaikan ibadah haji, barulah dia dikenal
sebagai Haji Mohamad Misbach.
Bibit relijius tidak
hadir begitu saja di dalam diri haji yang wafat pada 1926 ini. Diketahui,
ayahnya adalah seorang pejabat keagamaan selain juga seorang pedagang batik
yang kaya raya. Pada usia sekolah, dia ikut pelajaran keagamaan dari pesantren,
selain di sekolah bumiputera "Ongko Loro".
Mendapatkan pendidikan
berbasis pesantren serta lingkungan keraton Surakarta menjadikan Misbach
memilih jalan menjadi seorang Mubaligh. Seiring perjalanan hidupnya, ia
kepincut dengan ideologi komunis yang sangat berpengaruh pada era perjuangan
pembebasan penjajahan kala itu. Karena itu, meski orang tunya menjabat sebagai
pejabat keagamaan keraton, hal tersebut tidak membuat Misbach takut untuk
menyuarakan suara wong cilik.
Perkenalan Misbach
dengan dunia aktivis menarik minatnya untuk mulai melibatkan diri secara penuh
dengan bergabung dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB) bentukan Mas Marco
Kartodikromo pada tahun 1914. Setahun kemudian, ia menerbitkan surat kabar
Medan Moeslimin, sebagai koran perjauangannya. Dan aktif menyuarakan suara
rakyat serta melawan kolonialisme dengan pena jurnalisme.
Tahun 1917, ia
menerbitkan kemudia surat kabar Islam Bergerak. Setahun kemudian, Misbach
bergabung dengan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad. Pada tahun ini pula, tepatnya
10 Juli, ia membentuk Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV).
Semakin giat
mengorganisir dan melawan penjajah, pada tanggal 7 Mei 1919, ia akhirnya
ditangkap. Ini setelah ia menggambar kartun di Islam Bergerak yang isinya
menyinggung kapitalis Belanda dan Pakubuwono X. Tapi, kemudia dibebaskan pada
22 Oktober 1919.
Tak sekali itu saja,
pada tanggal 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan
selama 2 tahun 3 bulan. Keluar dari penjara, ia semakin garang. Tepat tahun
1922, ia memutuskan keluar dari Muhammadiyah. Pasalnya, ia menilai kedua
organisasi itu dianggap mandul dan bersikap kooperatif dengan pemerintah
Mei 1923, ia kembali
muncul dan memproklamirkan SI Merah/PKI. Karena keberaniannya itu, tanggal 20
Oktober 1923, ia kembali dijebloskan ke penjara dengan tuduhan terlibat dalam
aksi-aksi pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pemboman dan lain-lain.
Tak sampai situ, Juli 1924, si Haji Merah kembali ditangkap dan dibuang ke
Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan teror-teror di
Surakarta dan sekitarnya.
Pergerakan
Islam
Pertanyaan mendalamnya,
kenapa akhirnya Haji Misbach memilih untuk menjadi seorang muslim yang komunis?
Perbedaan dinamika sosial Islam di Yogya dan Surakarta masa itu menjadi
penyebab utamanya.
Seperti diketahui, di
Yogya, Muhammadiyah yang didirakan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 di segera
menjadi sentral kegiatan kaum muslimin yang saleh yang kebanyakan berlatar
belakang keluarga pegawai keagamaan Sultan. Ayah Dahlan adalah chatib amin
Masjid Agung dan ibunya putri penghulu (pegawai keagamaan kesultanan) di Yogya.
Para penganjur Muhammadiyah umumnya anak-anak pegawai keagamaan. Kala itu
birokrat keagamaan umumnya adalah alat negara sehingga wewenang keagamaannya
tidak berasal dari kedalaman pengetahuan tentang Islam tetapi karena
jabatannya. Meskipun mereka berhaji dan belajar Islam, masih kalah wibawa
dibandingkan para kiai yang pesantrennya bebas dari negara. Kendati demikian,
reformisme Muhammadiyah berhasil menyatukan umat Islam yang terpecah-pecah.
Tablig-tablignya, kajian ayat yang dijelaskan dengan membacakan dan menjelaskan
maknanya di masjid-masjid, pendirian lembaga pendidikan Islam, membangunkan
keterlenaan umat Islam. Mereka tumbuh menjadi pesaing tangguh misionaris Kristen
dan aktivis sekolah-sekolah bumiputera yang didirikan pemerintah.
Nah, lain halnya dengan
di Surakarta, kala itu belum ada pengaruh sekuat Dahlan dan Muhammadiyah. Ini
karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa, Madrasah
Mamba'ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906). Selain
itu, Sarekat Islam (SI) juga sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis
pergerakan Islam. Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai,
guru-guru Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa,
Medan Moeslimin. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain
tersalur. Kelompok ini menyebut diri "kaum muda Islam".
Dalam pergerakan Islam
Surakarta dan Yogya terdapat perbedaan mencolok. Di Yogya, gerakan Islam tidak
hanya reformis, tapi juga modernis. Sementara di Surakarta, pergerakan islamnya
lebih revolusioner. Tidak hanya berdiri di atas mimbar masjid saja. Pasalnya,
kegiatan keislaman di Surakarta banyak dipengaruhi kiai progresif, seperti Kiai
Arfah dan KH Muhammad Adnan.
Saking derasnya
demokrasi pemikiran, perpecahan kelompok Islam di Surakarta tak bisa
terelakkan. Berawal dari artikel Djojosoediro di surat kabar Djawi Hisworo,
yang mana pemimpin redaksinya adalah Martodharsono. Tulisan tersebut dianggap
menyingung dan dianggap liberal oleh kalangan ortodoks.
Sarekat Islam, sebagai
organisasi Islam terbesar kala itu, merasa wajib untuk melakukan pembelaan.
Untuk itu, pada awal Februari 1918, Tjokroaminoto telah membentuk apa yang
disebut Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) untuk “mempertahankan kehormatan
Islam, Nabi, dan Kaum Muslimin”.
Pembentukan TKNM oleh
Tjokroaminoto inilah yang kemudian mencuatkan nama Misbach sebagai mubaligh
vokal. Misbach lalu menyikapi dengan segera membentuk perkumpulan tablig
reformis bernama Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV) untuk memperkuat “kebenaran
dan memajukan Islam”. Ia menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta
mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM. Segeralah
beredar cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di podium.
Komunitas yang dulunya
kurang greget menyikapi keadaan itu tiba-tiba menjadi dinamis. Kaum muslimin
Surakarta berbondong-bondong menghadiri rapat umum di lapangan Sriwedari, pada
24 Februari 1918 yang konon dihadiri 20.000-an orang. Tjokroaminoto mengirim
Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan redaktur jurnal Islam
Surabaya, Sinar Islam), dua orang kepercayaannya di TKNM. Waktu itu terhimpun
sejumlah dana untuk pengembangan organisasi ini. Muslimin Surakarta bergerak
proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya penghinaan terhadapnya.
Inilah awal perang membela Islam dari "kaum putihan" Surakarta.
Belakangan, muncul
kekecewaan jamaah TKNM ketika Tjokro tiba-tiba saja mengendurkan perlawanan
kepada Martodharsono dan Djawi Hisworo setelah mencuatnya pertikaian menyangkut
soal keuangan dengan H Hasan bin Semit. Buntutnya, H Hasan bin Semit keluar
dari TKNM. Beredar artikel menyerang petinggi TKNM. Muncul statemen seperti
"korupsi di TKNM dianggap sudah menodai Nabi dan Islam".
Dalam situasi itu,
Misbach muncul menggantikan Hisamzaijni, ketua subkomite TKNM dan menjadi
hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel pertamanya di media
ini berjudul Seroean Kita. Dalam artikel itu, ia menyajikan gaya penulisan yang
khas, yang kata Takashi, menulis seperti berbicara dalam forum tablig. Ia
mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke dalam kutipan Al-Quran kemudian
keluar lagi dari ayat itu. "Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan
menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig." Sikap Misbach ini
segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan perkumpulan tablig
SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang
lebih muda.
SATV menyerang para
elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta, menyebut mereka bukan
Islam sejati, tetapi "Islam lamisan", "kaum terpelajar yang
berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk menyelamatkan namanya
sendiri." Dasar keyakinan SATV dengan Misbach sebagai ideolognya,
"membuat agama Islam bergerak". Misbach kondang di tengah muslimin
bukan sekadar karena tablignya, melainkan ia menjadi pelaku dari kata-kata
keras yang dilontarkannya di berbagai kesempatan. Ia dikenal luas karena perbuatannya
"menggerakkan Islam": menggelar tablig, menerbitkan jurnal,
mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan
bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.
Ada dua perbedaan SATV
dibanding Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi strategis di
tengah masyarakat keagamaan Yogya, sedangkan SATV adalah perhimpunan muslimin
saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan keagamaan, manipulasi pemerintah,
dan para kapitalis. Kedua, militansi para penganjur Muhammadiyah bergerak atas
dasar keyakinan bahwa bekerja di Muhammadiyah berarti hidup menjadi muslim
sejati. Sedangkan militansi SATV berasal dari rasa takut untuk melakukan
manipulasi, dan keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan tindakan nyata.
Di mata pengikut SATV, muslim mana-pun yang perbuatannya mengkhianati
kata-katanya berarti muslim gadungan.
Lalu apa pandangan
politik Haji Merah? Misbach memiliki posisi yang unik dalam sejarah tanah air.
Namanya sering disandingkan dengan Semaun, Tan Malaka, atau golongan kiri
lainnya. Di kalangan gerakan Islam, memang namanya nyaris tak pernah disebut
karena berpaham komunis. Menurutnya, Islam dan komunisme tidak selalu harus
dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan
penindasan dan ketidakadilan.
Marco Kartodikromo,
seorang wartawan yang juga seorang aktivis kebangkitan nasional asal
Hindia-Belanda pada saat itu, berkisah tentang Misbach:
"..
Di Pemandangan Misbach tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa dengan
orang yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di
antara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain
kepala cara Jawa. Dan sebab itu dia lebih gemar memaki kain kepala dari pada
memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut
Haji".
Apa yang tersirat dari
tulisan Marco adalah populisme Misbach. Populisme seorang Haji, sekaligus
pedagang yang sadar akan penindasan kolonialisme Belanda dan tertarik dengan
ide-ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia pada zaman itu.
Misbach langsung terjun
melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan
mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat umum/vergadering yang dijadikan
mimbar pemblejetan kolonialisme dan kapitalisme. Orang menggambarkan dirinya
sebagai sosok yang tak segan bergaul dengan anak-anak muda penikmat klenengan
(musik Jawa) dengan tembang yang sedang populer. Satu tulisan lain tentang
Misbach menyebutkan, di tengah komunitas pemuda, dia menjadi kawan berbincang
yang enak. Sementara di tengah pecandu wayang orang, dia lebih dihormati
ketimbang direktur wayang orang.
"...
di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan
pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan
lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan
Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil.
Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe
Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama."
Misbach sangat
antikapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek kapitalis yang
menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan Moeslimin atau
Islam Bergerak. Tak peduli apakah dia juga seorang aktivis organisasi Islam.
Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda adalah jalan yang akan dilawan dengan
gigih. Maka kelompok yang anti politik, anti pemogokan, secara tegas dianggap
berseberangan dengan misi keadilan.
Misbach membuat kartun
di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok kapitalis Belanda yang
menghisap petani, mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, membebani
pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan
menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai "suara
dari luar dunia petani". Bunyinya, "Jangan takut, jangan kawatir".
Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Ekstremitas
sikap Misbach membuat dia ditangkap, 7 Mei 1919, setelah melakukan belasan
pertemuan "kring" (subkelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya
Misbach dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia
(SH), organisasi para bumiputera.
Misbach menegaskan
kepada rakyat "jangan takut dihukum, dibuang, digantung", seraya
memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang selain
menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham komunis.
Misbach mengagumi Karl Marx. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat
miskin, mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan.
Agamapun dirusak oleh kapitalisme sehingga harus dilawan dengan historis
materialisme.
Pada konggres PKI
tanggal 4 Maret 1923 yang dihadiri 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah dan
beberapa perkumpulan serikat komunis, Misbach memberikan uraian mengenai
relevansi Islam dan komunisme dengan menunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an serta
mengkritik pimpinan SI Putih yang munafik dan menjadikan Islam sebagai selimut
untuk memperkaya diri sendiri. Pada tahun 1923 pula, dia menulis kritikannya
terhadap Tjokroaminoto di Medan Moeslimin dengan judul “Semprong Wasiat: Disiplin
Organsisi Tjokroaminoto Menjadi Racun Pergerakan Rakyat Hindia”.
Kekecewaannya terhadap
lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa, membuat dia memilih
ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI) ketika CSI (Central Sarekat Islam)
pecah melahirkan PKI/SI Merah, bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta. Dia
pun muncul sebagai pimpinan PKI di Surakarta, yang kemudian mengubah surat
kabar Islam Bergerak menjadi Ra’jat Bergerak dan penyatuan secara de fakto
organ PKI Yogyakarta berbahasa Melayu, Doenia Baroe, ke dalam Ra’jat Bergerak
pada September 1923. Berjuang melawan kapitalisme, tak membuat dia tidak
menegakkan Islam. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama
dengan berjuang melawan setan.
Masa
pembuangan
Bulan Mei 1919 akibat
pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya, Misbach dan para pemimpin
pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap. Pada 16 Mei 1920, ia kembali
ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Pada 22
Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta. Maret 1923, ia sudah
muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan berbicara tentang keselarasan
antara paham Komunis dan Islam. Pada tanggal 20 Oktober 1923, Misbach kembali
dijebloskan ke penjara dengan tuduhan terlibat dalam aksi-aksi revolusioner
yaitu pembakaran bangsal, penggulingan kereta api, pemboman dan lain-lain.
Bulan Juli 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi
pemogokan-pemogokan dan teror-teror/sabotase di Surakarta dan sekitarnya. Walaupun
bukan yang pertama diasingkan tapi ia-lah orang yang pertama yang sesungguhnya
berangkat ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri.
Terkait dengan
"teror-teror" yang terjadi di Jawa tersebut, Misbach tetap dipercaya
sebagai otaknya. Dia ditangkap. Dalam pengusutan sejumlah fakta memberatkannya
meskipun belakangan para saksi mengaku memberi kesaksian palsu karena
iming-iming bayaran dari Hardjosumarto, orang yang "ditangkap"
bersamanya. Hardjosumarto sendiri juga mengaku menyebarkan pamflet bergambar palu,
arit, dan tengkorak, membakar bangsal sekatenan, dan mengebom Mangkunegaran.
Namun Misbach tetap tidak dibebaskan. Dia dibuang ke Manokwari, Papua, beserta
dengan istri dan tiga anaknya. Ternyata pembuangan tidak membuatnya berhenti
bergerak, dia masih sempat mendirikan Sarekat Rakyat cabang Manokwari, yang
anggotannya tidak pernah lebih dari 20 karena gangguan Polisi Belanda. Selain
itu, dia juga menyusun artikel berseri "Islamisme dan Komunisme".
Medan Moeslimin kemudian memuat artikel tersebut,
"…agama
berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan
untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya
manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian:
budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya
mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan
dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan
keselamatan umum."
Ditengah ganasnya alam
di tempat pembuangannya, dia terserang malaria dan meninggal di pada 24 Mei
1926 dan dimakamkan di kuburan Penindi, Manokwari, di samping kuburan istrinya.
Tjipto Mangunkusuma dalam surat kabar Panggoegah, 12 Mei 1919 melukiskan
keberanian Misbach dalam melawan kolonialisme Belanda sebagai "seorang
ksatria sejati" yang mengorbankan seluruh hidupnya untuk pergerakan. (cho)