Di tahun 2015 ini, beban kantong rakyat
Indonesia makin berat. Bagaimana tidak? Harga semua kebutuhan dasar
rakyat makin melambung naik. Dimulai dari bahan bakar minyak (BBM),
elpiji yang makin mendaki, mengakibatkan semua produk ikut berlomba
terkerek naik, mencekik jantung ekonomi rakyat. Ini tak lain diakibatkan
oleh kebijakan ekonomi liberal yang diterapkan oleh pemerintahan Jokowi
sedari memimpin.
Kebijakan liberal dan kapitalistik tersebut tercermin dari rajinnya pemerintah mencabut PSO (Public Service Obligation) atau subsidi. Pencabutan subsidi atas minyak dan gas (migas) dan menyerahkan harga-harganya ke mekanisme pasar global menjadi muaranya. Alhasil, harga-harga lainnya ikut melambung naik, sebagai efek billiard dari ideologi si rezim.
Sebenarnya, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 15 Desember Tahun 2004 lalu telah membatalkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 28 ayat 2 tentang Minyak dan gas Bumi (Migas). Putusan MK ini secara jelas menunjukkan adanya larangan penentuan harga migas berdasarkan mekanisme harga pasar. MK beralasan UU Nomor 22 tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 yang intinya mengamanatkan cabang SDA yang penting harus dikuasai negara untuk kepentingan rakyat.
Tapi rezim Jokowi terus memutar otak, dan tetap keukeh menetapkan harga migas sesuai harga pasar dengan alas an APBN selalu jebol akibat subsidi. Singkatnya, pemerintah mengenalkan 3 nama BBM kepada rakyat Indonesia, yakni BBM subsidi, BBM penugasan, dan BBM umum.
BBM Subsidi contohnya adalah solar yang dipotong Rp 1000 dari harga dunia. BBM Penugasan misalnya bensin yang subsidinya telah dicabut tapi masih perlu effort pemerintah untuk mendistribusikannya. Sedangkan BBM umum misalnya pertamax dan pertamax plus yang harganya berdasarkan harga pasar dunia ditambah dengan biaya distribusi lagi (jadi, harganya berbeda antar daerah).
Meskipun namanya beda-beda, harga BBM ini nyatanya tetap saja naik turun bak roller coaster, mengikuti gelombang harga Means of Platts Singapore (MOPS). Untuk Maret 2015 ini, pemerintah menetapkan harga BBM RON 88 Rp 6.900/liternya. Sementara pertamax (RON 92), seperti ditulis diatas berbeda-beda di tiap daerah, mulai dari Rp 8.250 hingga Rp15.200/liter (di Maluku Utara). Sedangkan, minyak tanah dan solar Rp 2.500 dan Rp 6.400 per liter.
Kebijakan yang sama juga berlaku untuk harga gas /elpiji. Selain gas melon (elpiji 3 kg yang masih disubsidi), harga elpiji non-PSO juga merujuk pada harga gas dunia, tepatnya harga yang ditetapkan oleh contract price (CP) Aramco. Sementara CP Aramco sendiri mengikuti tren harga minyak dunia dalam menetapkan harga.
Untuk diketahui juga, PT Pertamina (persero) masih mengandalkan impor dari Negara-negara Timur Tengah untuk memenuhi kebutuhan gas nasional. Perusahaan plat merah itu mencatat, Indonesia yang dikenal dengan negara yang kaya akan migas (minyak dan gas) ini musti mengimpor 67% dari total kebutuhan gas. Sebab, kilang gas yang ada di dalam negeri seperti Badak LNG dan swasta (LPG & K3S), hanya bisa memenuhi sekitar 2,2 juta Metrik Ton gas per tahunnya.
Selain migas, tarif listrik juga diserahkan ke mekanisme pasar. Untuk golongan diatas 1.300 VA sudah resmi mengikuti tarif penyesuaian (tariff adjusment) sejak Januari 2015 lalu. Rencananya, untuk tarif golongan rumah tangga (1.300 VA ke bawah) juga akan ditetapkan untuk mengikuti tarif penyesuaian tersebut pada April 2015 mendatang.
Tak hanya listrik, pada April 2015 mendatang, tarif kereta api ekonomi juga akan naik karena dicabut subsidinya. Pemerintah berdalih, akan mengalokasikan subsidi tersebut ke sektor yang lebih penting. Alhasil, per April nanti, tarif kereta kelas ekonomi jarak jauh dan sedang tersebut akan naik mencapai 2 kali lipat dari tarif saat ini.
Akibat roller coaster-nya harga migas tersebut, harga kebutuhan rakyat lainnya juga ikut naik turun seperti 'yoyo'. Mulai dari tarif transportasi, harga kebutuhan pokok, seperti beras juga ikut naik hingga 30%.
Gencarnya, pencabutan subsidi BBM, TDL, elpiji tersebut sejatinya telah direncanakan sejak lama sebagaimana yang didesakkan oleh lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia, IMF, USAID dan ADB. Pemerintahan komprador seperti sekarang hanya tinggal mencari alasan agar kebijakan tersebut seolah logis dan diterima oleh rakyat.
Misalnya dengan menyebut subsidi bisa mendistorsi pasar sehingga perusahaan-perusahaan swasta (termasuk asing) tidak dapat berkompetisi secara sehat di negara ini. Atau memandang subsidi sebagai beban fiskal yang tidak memberikan manfaat bagi perekonomian. Lebih lanjut, pemerintah mengampanyekan subsidi sebagai biang kerok tidak berkembangnya BUMN dibanding perusahaan-perusahaan swasta.
Padahal negara-negara yang saat ini masuk dalam kategori negara-negara maju dan menerapkan ekonomi liberal sekalipun seperti AS dan Inggris, dulunya juga menerapkan proteksi ekonomi dan subsidi. Ditambah dengan berbagai rangkaian kebijakan yang besar untuk memperkuat fundamental ekonomi mereka agar dapat bersaing. Paradoks memang, dengan apa yang saat ini mereka serukan kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Contoh lain, negara-negara industri seperi Jepang, Finlandia dan Korea Selatan juga membatasi masuknya modal asing demi melindungi industri domestik. Pada tahun 1970-an, Korea bahkan memberikan bantuan keuangan besar-besaran untuk mengembangkan industri kapal, baja dan elektronik di negara tersebut.
Singkatnya, apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia sekarang, lebih menunjukkan kepatuhan rezim pada konsep-konsep kapitalisme yang oleh para penyerunya justru diabaikan. Semua ini tidak lain agar asing dapat dengan mudah menjajah dan menjerumuskan Indonesia dalam kubangan kapitalisme dan liberalisme.
Karena itu, rezim nampaknya harus kembali membaca amanat dari pendiri bangsa ini. Dimana, dalam UUD 1945 pasal 33 dijelaskan bahwa seluruh sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikelola oleh negara. Pengelolaan itu, bertujuan untuk kemakmuran rakyat seutuhnya. Bukan seperti sekarang, digadaikan sepenuhnya, demi kemakmuran rezimnya sendiri. (cho)
Tabik.
Kebijakan liberal dan kapitalistik tersebut tercermin dari rajinnya pemerintah mencabut PSO (Public Service Obligation) atau subsidi. Pencabutan subsidi atas minyak dan gas (migas) dan menyerahkan harga-harganya ke mekanisme pasar global menjadi muaranya. Alhasil, harga-harga lainnya ikut melambung naik, sebagai efek billiard dari ideologi si rezim.
Sebenarnya, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 15 Desember Tahun 2004 lalu telah membatalkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 28 ayat 2 tentang Minyak dan gas Bumi (Migas). Putusan MK ini secara jelas menunjukkan adanya larangan penentuan harga migas berdasarkan mekanisme harga pasar. MK beralasan UU Nomor 22 tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 yang intinya mengamanatkan cabang SDA yang penting harus dikuasai negara untuk kepentingan rakyat.
Tapi rezim Jokowi terus memutar otak, dan tetap keukeh menetapkan harga migas sesuai harga pasar dengan alas an APBN selalu jebol akibat subsidi. Singkatnya, pemerintah mengenalkan 3 nama BBM kepada rakyat Indonesia, yakni BBM subsidi, BBM penugasan, dan BBM umum.
BBM Subsidi contohnya adalah solar yang dipotong Rp 1000 dari harga dunia. BBM Penugasan misalnya bensin yang subsidinya telah dicabut tapi masih perlu effort pemerintah untuk mendistribusikannya. Sedangkan BBM umum misalnya pertamax dan pertamax plus yang harganya berdasarkan harga pasar dunia ditambah dengan biaya distribusi lagi (jadi, harganya berbeda antar daerah).
Meskipun namanya beda-beda, harga BBM ini nyatanya tetap saja naik turun bak roller coaster, mengikuti gelombang harga Means of Platts Singapore (MOPS). Untuk Maret 2015 ini, pemerintah menetapkan harga BBM RON 88 Rp 6.900/liternya. Sementara pertamax (RON 92), seperti ditulis diatas berbeda-beda di tiap daerah, mulai dari Rp 8.250 hingga Rp15.200/liter (di Maluku Utara). Sedangkan, minyak tanah dan solar Rp 2.500 dan Rp 6.400 per liter.
Kebijakan yang sama juga berlaku untuk harga gas /elpiji. Selain gas melon (elpiji 3 kg yang masih disubsidi), harga elpiji non-PSO juga merujuk pada harga gas dunia, tepatnya harga yang ditetapkan oleh contract price (CP) Aramco. Sementara CP Aramco sendiri mengikuti tren harga minyak dunia dalam menetapkan harga.
Untuk diketahui juga, PT Pertamina (persero) masih mengandalkan impor dari Negara-negara Timur Tengah untuk memenuhi kebutuhan gas nasional. Perusahaan plat merah itu mencatat, Indonesia yang dikenal dengan negara yang kaya akan migas (minyak dan gas) ini musti mengimpor 67% dari total kebutuhan gas. Sebab, kilang gas yang ada di dalam negeri seperti Badak LNG dan swasta (LPG & K3S), hanya bisa memenuhi sekitar 2,2 juta Metrik Ton gas per tahunnya.
Selain migas, tarif listrik juga diserahkan ke mekanisme pasar. Untuk golongan diatas 1.300 VA sudah resmi mengikuti tarif penyesuaian (tariff adjusment) sejak Januari 2015 lalu. Rencananya, untuk tarif golongan rumah tangga (1.300 VA ke bawah) juga akan ditetapkan untuk mengikuti tarif penyesuaian tersebut pada April 2015 mendatang.
Tak hanya listrik, pada April 2015 mendatang, tarif kereta api ekonomi juga akan naik karena dicabut subsidinya. Pemerintah berdalih, akan mengalokasikan subsidi tersebut ke sektor yang lebih penting. Alhasil, per April nanti, tarif kereta kelas ekonomi jarak jauh dan sedang tersebut akan naik mencapai 2 kali lipat dari tarif saat ini.
Akibat roller coaster-nya harga migas tersebut, harga kebutuhan rakyat lainnya juga ikut naik turun seperti 'yoyo'. Mulai dari tarif transportasi, harga kebutuhan pokok, seperti beras juga ikut naik hingga 30%.
Gencarnya, pencabutan subsidi BBM, TDL, elpiji tersebut sejatinya telah direncanakan sejak lama sebagaimana yang didesakkan oleh lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia, IMF, USAID dan ADB. Pemerintahan komprador seperti sekarang hanya tinggal mencari alasan agar kebijakan tersebut seolah logis dan diterima oleh rakyat.
Misalnya dengan menyebut subsidi bisa mendistorsi pasar sehingga perusahaan-perusahaan swasta (termasuk asing) tidak dapat berkompetisi secara sehat di negara ini. Atau memandang subsidi sebagai beban fiskal yang tidak memberikan manfaat bagi perekonomian. Lebih lanjut, pemerintah mengampanyekan subsidi sebagai biang kerok tidak berkembangnya BUMN dibanding perusahaan-perusahaan swasta.
Padahal negara-negara yang saat ini masuk dalam kategori negara-negara maju dan menerapkan ekonomi liberal sekalipun seperti AS dan Inggris, dulunya juga menerapkan proteksi ekonomi dan subsidi. Ditambah dengan berbagai rangkaian kebijakan yang besar untuk memperkuat fundamental ekonomi mereka agar dapat bersaing. Paradoks memang, dengan apa yang saat ini mereka serukan kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Contoh lain, negara-negara industri seperi Jepang, Finlandia dan Korea Selatan juga membatasi masuknya modal asing demi melindungi industri domestik. Pada tahun 1970-an, Korea bahkan memberikan bantuan keuangan besar-besaran untuk mengembangkan industri kapal, baja dan elektronik di negara tersebut.
Singkatnya, apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia sekarang, lebih menunjukkan kepatuhan rezim pada konsep-konsep kapitalisme yang oleh para penyerunya justru diabaikan. Semua ini tidak lain agar asing dapat dengan mudah menjajah dan menjerumuskan Indonesia dalam kubangan kapitalisme dan liberalisme.
Karena itu, rezim nampaknya harus kembali membaca amanat dari pendiri bangsa ini. Dimana, dalam UUD 1945 pasal 33 dijelaskan bahwa seluruh sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikelola oleh negara. Pengelolaan itu, bertujuan untuk kemakmuran rakyat seutuhnya. Bukan seperti sekarang, digadaikan sepenuhnya, demi kemakmuran rezimnya sendiri. (cho)
Tabik.